Asma

Asma

(identifikasi dan analisis)


1. Definisi Asma

Asma adalah kelainan inflamasi kronik saluran napas, banyak sel dan elemen seluler memegang peranan. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan respons saluran napas yang menimbulkan episode berulang, mengi, sesak napas, rasa berat di dada serta batuk terutama malam hari dan atau dini hari. Episode ini umumnya berhubungan dengan pengurangan arus udara yang luas tetapi bervariasi yang biasanya reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan (Eddy Surjanto, 2008; NHLBI, 2006).

Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik : 1). Obstruksi saluran napas yang reversible (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik secara langsung maupun dengan pengobatan ; 2). Inflamasi saluran napas ; 3). Peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hiperaktivitas) (Heru Sundaru dan Sukamto, 2006).

2. Patogenesis Asma

Asma merupakan suatu sindrom kompleks dengan berbagai manifestasi klinis baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Sindrom

tersebut terdiri atas berbagai hal seperti obstruksi aliran udara, hiperaktivitas bronkus, dan radang atau inflamasi pada aliran udara (Brusse et al., 2001).

Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respons saluran napas yang berlebihan (Heru Sundaru dan Sukamto, 2006).

Pada asma alergik maupun non alergik dijumpai adanya inflamasi dan hiperaktivitas saluran napas. Oleh karena itu paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut yaitu jalur imunologis yang didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (antigen presenting cells) dan selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong) (Heru Sundaru dan Sukamto, 2006). Sel T penolong ini akan melepaskan sitokin, IL-4, IL-5 dan IL-13. Interleukin-4 dan IL-13 mengatur sintesis imunoglobulin E (IgE), dengan cara mempengaruhi sel B untuk melakukan classwitch dari sintesis imunoglobulin G (IgG) ke IgE. Ikatan IgE dengan antigen dapat menimbulkan crosslink molekul IgE yang terikat pada reseptor IgE dari sel mast. Hal ini menyulut terjadinya degranulasi sel mast dan dilepaskannya mediator-mediator inflamasi (Jalal, 2005). Mediator-mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX) dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hiperaktivitas saluran napas (HSN). Jalur non alergik selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HSN (Heru Sundaru dan Sukamto, 2006).

Salah satu karakteristik asma adalah obstruksi saluran napas. Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF) dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas (Heru Sundaru dan Sukamto, 2006).

3. Faktor Resiko Asma

Menurut Eddy Surjanto (2001), faktor penyebab pasti asma bronkial saat ini tidak diketahui, namun tampaknya merupakan interaksi yang kompleks antara faktor predisposisi, faktor kausal dan faktor kontribusi.

a. Faktor Predisposisi

1) Atopi

Atopi ialah produksi antibodi IgE yang berlebihan dalam kontak dengan alergen lingkungan. Atopi ditunjukkan dengan peningkatan serum IgE total maupun spesifik. Juga dapat ditunjukkan dengan tes kulit yang positif.

2) Jenis Kelamin

Asma anak lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita. Resiko ini tampaknya tidak berhubungan dengan jenis kelamin, tetapi lebih berkaitan dengan penyempitan dan peningkatan tonus jalan napas pada anak laki-laki sehingga menyebabkan timbulnya obstruksi saluran napas sebagai respon terhadap berbagai rangsangan. Perbedaan ini akan menghilang dengan bertambahnya usia (lebih dari 10 tahun) ketika rasio diameter dan panjang saluran nafas menjadi sama.

3) Ras

Perbedaan lebih diakibatkan karena faktor lingkungan dan faktor diet daripada faktor ras itu sendiri.

b. Faktor Kausal

Faktor resiko kausal mensensitisasi saluran nafas dan menyebabkan timbulnya asma.

1) Alergen dalam ruangan (Indoor allergen)

Yaitu tungau debu rumah (house-dust mites), alergen binatang dan jamur.

2) Alergen di luar ruangan (Outdoor allergen)

Yaitu tepung sari, biji-bijian, rumput-rumputan serta jamur.

3) Bahan-bahan di lingkungan kerja

Bahan-bahan ini diklasifikasikan sebagai bahan dengan berat molekul besar dan berat molekul kecil. Mekanisme timbulnya asma oleh bahan dengan yang ditimbulkan alergen sedangkan untuk bahan dengan berat molekul yang kecil belum diketahui mekanismenya.

4) Obat dan zat aditif makanan (food additives)

Obat tersebut seperti aspirin dan Non Steroid Anti Inflamation Drugs (NSAID), sedangkan untuk zat aditif makanan seperti salisilat dan monosodium glutamat.

c. Faktor Kontribusi

Merupakan faktor yang meningkatkan resiko terjadinya asma. Yang merupakan faktor tersebut ialah merokok baik pasif maupun aktif, polusi udara, infeksi saluran nafas, berat badan bayi yang rendah, diet dan obat-obatan.

4. Diagnosis Asma

Diagnosis asma berdasarkan adanya obstruksi saluran nafas yang bervariasi. Berbagai pemeriksaan dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis asma. Salah satunya adalah uji faal paru (Eddy Surjanto, 2001). Pentingnya pengukuran fungsi paru pada penderita asma analog dengan pengukuran tekanan darah pada penderita hipertensi atau kadar gula darah pada penderita diabetes (Mangunnegoro, 1995). Pengukuran faal paru lebih objektif untuk menilai derajat obstruksi saluran napas dengan cara pengukuran APE menggunakan peak flow meter sedangkan volume ekspirasi detik pertama (VEP1) dan kapasitas vital paksa (KVP) diukur dengan spirometer (Pompini Agustina, 2005).

5. Klasifikasi Asma

Penentuan klasifikasi beratnya asma merupakan dasar dari pengobatan (Heru Sundaru, 2001). Menurut GINA 2002, beratnya asma diklasifikasikan menjadi asma intermitten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat. Penilaian beratnya asma berdasarkan gejala asma, frekuensi serangan asma malam dan pemeriksaan fungsi paru.

a. Intermitten

1) Gejala klinis <>

2) Gejala malam < 2 kali/bulan

3) Tanpa gejala di luar serangan

4) Serangan berlangsung singkat

5) VEP1 > 80% nilai prediksi atau APE > 80% nilai terbaik

6) Variabilitas APE <>

b. Persisten ringan

1) Gejala > 1 kali/minggu tetapi <>

2) Gejala malam > 2 kali/bulan

3) Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur

4) VEP1 > 80% nilai prediksi atau APE > 80% nilai terbaik

5) Variabilitas APE 20%-30%

c. Persisten sedang

1) Gejala setiap hari

2) Gejala malam > 1 kali/minggu

3) Serangan mengganggu aktivitas dan tidur

4) Membutuhkan bronkodilator setiap hari

5) VEP1 60%-80% atau APE 60%-80% nilai terbaik

6) Variabilitas APE > 30%

d. Persisten berat

1) Gejala terus menerus

2) Gejala malam sering

3) Sering kambuh

4) Aktivitas fisik terbatas

5) VEP1 < 60% nilai prediksi atau APE < 60% nilai terbaik

6) Variabilitas APE > 30%

6. Penatalaksanaan Asma

Tujuan penatalaksanaan asma menurut Faisal Yunus (1998) adalah untuk :

a. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

b. Mencegah eksaserbasi akut

c. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

d. Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise.

e. Menghindari efek samping obat

f. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara ireversibel

g. Mencegah kematian karena asma

Dalam panduan GINA 2002 yang dibuat oleh National Heart, Lung and Blood Institute & World Health Organization (NHLBI/WHO), menyebutkan untuk mewujudkan tujuan penatalaksanaan asma tersebut, dokter maupun penderita asma dianjurkan untuk mempelajari, memahami, dan mengerjakan apa yang disebut “tujuh jurus ampuh untuk mengatasi penyakit asma” (Agnes Harjaningrum, 2006).

Pertama, penyuluhan/pendidikan mengenai penyakit asma pada penderita asma dan keluarganya. Pengenalan tentang seluk beluk asma, bagaimana pengobatan serta pencegahan yang benar, akan membuat penderita dan keluarganya mengerti sehingga termotivasi untuk berusaha kuat mengatasi penyakitnya. Karena itu edukasi menjadi faktor kunci dalam pengobatan asma.

Kedua, mengetahui obat-obat asma, baik kegunaan maupun efek sampingnya. Terdapat dua jenis obat asma yaitu, obat-obat kerja cepat untuk mengatasi dengan segera serangan sesak nafas (reliver), dan obat-obat pencegahan jangka lama, untuk mengatasi peradangan saluran nafas (preventer/controller). Yang termasuk obat reliver adalah obat-obat bronkodilator kerja cepat seperti, salbuterol Albuterol, metaproterenol, terbutaline, dan procaterol. Selain itu, obat golongan anti cholinergik, teofilin kerja cepat, suntikan adrenalin atau epinefrin juga dapat dijadikan pilihan.

Ketiga, mengobati atau mengelola penyakit asma. Pengobatan tidak hanya dilakukan ketika serangan asma sedang berlangsung, tetapi juga saat tidak dalam serangan. Pengelolaan asma saat tidak dalam serangan dilakukan melalui pengobatan pencegahan dan latihan olah raga terpimpin. Penderita asma dengan tipe intermiten (sangat ringan) yang kekambuhannya dalam 1 minggu kurang dari 1 atau 2 kali, tidak memerlukan pengobatan pencegahan. Namun, penderita asma dengan tipe persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat, harus mendapatkan terapi pencegahan secara bertahap disesuaikan dengan klasifikasinya.

Keempat, mempelajari dan memahami faktor-faktor pencetus serangan asma (allergen), dan mengetahui cara mengendalikannya.

Kelima, membuat rencana emergensi (Action Plan). Action plan terutama diperlukan ketika serangan asma akan kambuh, dan penderita membutuhkan pertolongan secepatnya.

Keenam, rehabilitasi dan peningkatan kebugaran jasmani dengan olah raga atau latihan jasmani terpimpin. Penderita asma sering mengalami sesak sehingga sebagian otot-otot pernafasan kerap digunakan, sementara sebagian otot yang lain tidak. Otot-otot pernafasan yang banyak digunakan akan membesar dan yang jarang digunakan akan melemah. Akibatnya, efisiensi dan koordinasi pernafasan menjadi kurang baik, fungsi paru serta pertahanan paru pun menurun. Selain itu penderita asma juga terkadang mengalami keterbatasan fisik atau membatasi pekerjaan fisik karena takut sesak, sehingga kebugaran jasmaninya berkurang. Dengan melakukan latihan jasmani secara teratur yang terpimpin, otot pernafasan akan kembali berfungsi normal, kenaikan kapasitas vital paru meningkat dan kebugaran jasmani pun menjadi lebih baik.

Ketujuh, memonitor dan mengikuti perkembangan (follow up) penyakit penderita asma secara teratur. Hingga kini penyakit asma belum dapat disembuhkan, dan gejala asmanya sering bervariasi. Karena itu pengobatan harus dilakukan seumur hidup dan dimonitor serta diiikuti perkembangannya terus menerus. Hal ini diperlukan untuk melihat cocok tidaknya obat yang diberikan dalam mengendalikan asma. Dokter akan mengevaluasi apakah obat perlu ditambah, dikurangi atau dihentikan. Bila keadaan dan kebugaran jasmani penderita memang telah membaik, pengobatan dapat dihentikan.

7. Arus Puncak Ekspirasi (APE)

APE adalah jumlah aliran udara maksimal yang dapat dicapai saat ekspirasi paksa dalam waktu tertentu yang dilakukan dengan menggunakan peak flow meter atau spirometer (Menaldi Rasmin et al., 2001). Variasi nilai APE sangat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, ras, tinggi badan, dan merokok. Angka normal APE pada pria dewasa adalah 500-700 L/menit dan pada wanita dewasa 380-500 L/menit (Jain et al., 1998).

Pemeriksaan APE merupakan salah satu pemeriksaan faal paru dengan menggunakan alat Peak Flow Meter. Peak Flow Meter adalah alat sederhana yang dapat digunakan untuk menilai obstruksi saluran napas yaitu dengan mengukur APE (Wijanarko, 1995). Peak Flow Meter relatif lebih murah, bentuknya sederhana, mudah dibawa dan mudah pula cara pemeriksaannya. Disini APE dapat digunakan untuk memonitor kondisi asma pasien serta mendeteksi tanda obstruksi awal asma (Hueston, 2003).

Terdapat 3 macam nilai APE, yaitu :

a. APE sesaat. Nilai ini didapatkan dari nilai tiupan pada waktu yang tidak tertentu dan dapat kapan saja.

Nilai APE ini berguna untuk :

1) Mengetahui adanya obtruksi pada saat itu.

2) Mengetahui derajat obstruksi bila telah diketahui nilai standar normalnya.

b. APE tertinggi. Nilai ini didapatkan dari hasil tiupan APE tertinggi setelah melakukan evaluasi tiupan sehari 2 kali, pagi dan sore hari pukul 06.00 dan 20.00 selama 2 minggu pada keadaan asma stabil. Nilai APE tertinggi digunakan sebagai standar nilai APE seseorang.

c. APE variasi harian. Nilai ini didapatkan dari hasil tiupan APE selama 2 minggu. Variasi harian berguna untuk mengetahui nilai tertinggi standar normal seseorang (Pradjnaparamita, 1997).

by. arhamsyah

dari berbagai sumber